Semua Hari Adalah Hari Ibu

CeKa Vol. 10 – Ibu tidak pernah menunggu satu tanggal untuk dicintai. Ia hadir setiap hari, bahkan sebelum pagi benar-benar terjaga dan setelah malam menutup matanya. Dalam diam, ibu menjalani hidupnya sebagai doa yang berjalan, tanpa panggung, tanpa tepuk tangan.

Sejak detik pertama kehidupan dititipkan, ibu belajar arti kehilangan dirinya sendiri. Waktu yang dulu miliknya kini terbagi, tenaga yang dulu utuh kini diserahkan, mimpi yang dulu ingin dikejar kini dilipat rapi demi masa depan anak-anaknya. Namun dari semua pengorbanan itu, ibu jarang bertanya: apa balasannya? Baginya, melihat anak tumbuh, sehat, dan tersenyum sudah lebih dari cukup.

Ibu adalah rumah pertama yang kita kenal. Di pelukannya, dunia terasa aman. Dari suaranya, kita belajar mengenal kasih. Dari air matanya, kita memahami bahwa cinta tidak selalu berisik, sering kali justru hadir dalam kesunyian. Ketika anak-anaknya terjatuh, ibu adalah yang pertama merasakan perihnya. Bahkan saat anak tertawa bahagia, ibu tetap menyimpan cemas, takut jika suatu hari bahagia itu terluka.

Bagi anak-anak, ibu adalah sekolah pertama sebelum dunia mengajari apa pun. Ia mengajarkan makna sabar lewat caranya menunggu. Ia mengajarkan ikhlas lewat caranya memberi. Ia mengajarkan kuat lewat caranya tetap berdiri meski lelah. Banyak hal yang tak tercatat dalam buku pelajaran, tetapi tertanam kuat di hati karena contoh ibu yang hidup.

Bagi seorang suami, ibu, dalam perannya sebagai istri, adalah sandaran yang sering luput disadari. Ia adalah tenang di tengah badai, penyejuk di antara kerasnya hari, dan pengingat saat langkah mulai lelah. Ibu memelihara rumah bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan hati. Ia menyatukan perbedaan, menenangkan luka, dan menjaga agar cinta tetap bernapas di tengah keterbatasan.

Sering kali ibu memilih diam, bukan karena tidak mampu bicara, tetapi karena ia tahu tidak semua lelah perlu diceritakan. Ia menanggung resah sendirian agar keluarga bisa tersenyum bersama. Ia menangis dalam doa agar anak-anaknya kuat di dunia yang tidak selalu ramah. Di sepertiga malam, saat semua terlelap, ibu masih terjaga, menitipkan nama-nama yang dicintainya pada Tuhan.

Ironisnya, ibu kerap menjadi yang paling sering dilupakan. Kita sibuk tumbuh dewasa, mengejar dunia, merasa mampu berdiri sendiri. Kita lupa bahwa ada seseorang yang dulu tidak pernah lelah menggandeng tangan kita agar kita bisa melangkah. Kita lupa bahwa doa ibu tidak pernah berhenti, bahkan ketika kita berhenti mengingatnya.

Padahal, keberadaan ibu adalah nikmat yang tak tergantikan. Selama ibu masih ada, dunia selalu punya tempat pulang. Selama suaranya masih bisa didengar, nasihatnya, meski kadang berulang adalah cahaya. Dan ketika suatu hari ibu tak lagi ada, barulah kita sadar: ada cinta yang tak pernah bisa kita balas sepenuhnya.

Karena itu, Hari Ibu bukan tentang satu hari dalam setahun. Hari Ibu adalah setiap pagi saat ibu bangun lebih awal. Setiap malam saat ia memastikan semua baik-baik saja. Setiap waktu ketika ia memilih mendahulukan keluarga daripada dirinya sendiri. Sepanjang tahun, sepanjang hidup, ibu adalah ibu.

Mencintai ibu tidak cukup dengan kata-kata indah. Ia membutuhkan kehadiran, kesabaran, dan bakti yang nyata. Mendengar tanpa menyela, membantu tanpa diminta, dan memeluk tanpa alasan. Sebab bagi ibu, perhatian kecil sering kali lebih bermakna daripada hadiah besar.

Dan di ujung tulisan ini, biarlah doa menjadi penutup yang paling jujur:

Ya Allah, Engkau titipkan surga di telapak kaki para ibu. Maka muliakanlah mereka sebagaimana mereka memuliakan kami tanpa pamrih. Ampuni dosa-dosa mereka, gantikan lelah mereka dengan pahala yang tak terputus, dan jadikan setiap doa yang mereka panjatkan sebagai penjaga hidup kami. Panjangkan usia mereka dalam keberkahan, atau bila Engkau telah memanggil mereka, tempatkanlah di sisi-Mu yang paling mulia. Aamiin.

Semoga kita tidak menunggu kehilangan untuk belajar mencintai ibu. Semoga setiap hari, benar-benar menjadi Hari Ibu.

Madinah al-Munawwarah
Kamis, 25/12/25.

Tinggalkan komentar