Ketika Kekurangan Menjadi Cahaya: Kisah Sahabat Nabi Penyandang Disabilitas

Ceka Vol: 9 – Di sekitar Rasulullah Saw., hadir manusia-manusia pilihan yang perjalanan hidupnya tak selalu ditapaki dengan langkah sempurna. Ada yang berjalan dengan kaki pincang, ada yang melihat tanpa mata, ada yang memeluk dunia dengan tubuh tak lengkap. Namun satu hal menyamakan mereka; hati yang penuh cahaya dan tekad yang tak terbatas.

Mereka adalah para sahabat Nabi penyandang disabilitas. Manusia yang membuktikan bahwa kekurangan fisik bukan alasan untuk mundur dari pengabdian, bahkan menjadi kekuatan yang melambungkan nama mereka dalam sejarah. Nama-nama itu dicatat dengan tinta emas:

Abdullah bin Ummu Maktum: Cahaya yang Tak Datang dari Mata

Abdullah bin Ummu Maktum adalah seorang tunanetra sejak lahir. Dalam dunia yang masih sering menilai manusia dari fisiknya, seseorang seperti beliau bisa saja tersisihkan. Namun tidak di sisi Rasulullah Saw. dan tidak di sisi Allah.

Suatu hari, beliau datang kepada Rasulullah untuk belajar Al-Quran. Saat itu Nabi sedang berbicara dengan para tokoh Quraisy. Abdullah tidak mengetahui dan tetap meminta bimbingan. Allah menurunkan sebuah teguran indah dalam surah ‘Abasa, bukan untuk merendahkan beliau, tapi untuk mengangkat martabat seorang hamba yang buta namun hatinya terang.

Sejak itu, Rasulullah memuliakannya. Abdullah diangkat sebagai muadzin resmi bersama Bilal bin Rabah. Bahkan beberapa kali Nabi meninggalkan Madinah, Abdullah ditunjuk menjadi pemimpin kaum Muslimin, memimpin shalat dan mengurus urusan kota. Sebuah amanah yang menunjukkan bahwa mata boleh tidak melihat, tetapi hati yang meyakini Allah tak pernah buta.

Amr bin Al-Jamuh: Pincang di Dunia, Berlari di Surga

Amr bin Al-Jamuh adalah seorang sahabat yang kakinya cacat parah. Ia harus berjalan dengan langkah berat setiap hari. Saat Perang Uhud, anak-anaknya mencegahnya berangkat. “Ayah, engkau sudah uzur, dan engkau pincang. Allah telah memberikan uzur.”

Namun Amr berkata, “Aku ingin berjalan dengan kakiku yang cacat ini di surga.”

Rasulullah ﷺ terharu mendengarnya dan mengizinkannya ikut berperang. Di Uhud, Amr berjuang hingga akhirnya gugur sebagai syahid. Nabi melihat jasadnya dan berkata bahwa ia kini telah berjalan dengan kedua kakinya tanpa cacat di surga.

Di mata manusia, pincang adalah kekurangan. Tapi di mata Allah, itu menjadi tiket kemuliaan yang tidak semua orang mendapatkannya.

Qatadah bin an-Nu’man: Mata yang Dicintai Allah

Dalam Perang Uhud, Qatadah terkena pukulan hingga salah satu matanya terlepas keluar. Dengan rasa sakit luar biasa, ia datang kepada Nabi. Rasulullah Saw. kemudian memegang mata itu, mengembalikannya ke tempatnya, dan seketika mata itu sembuh—bahkan lebih tajam daripada sebelumnya.

Kecelakaan fisik tidak menghentikan Qatadah untuk melindungi Rasulullah. Justru pertukaran itu menunjukkan bahwa Allah lebih menghargai keberanian hati daripada kesempurnaan tubuh.

Para sahabat mulia ini mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati tidak datang dari tubuh, kemuliaan tidak datang dari kesempurnaan fisik, tetapi dari tekad, kesetiaan, dan hati yang mencintai Allah.

Disabilitas mereka tidak menurunkan derajat, namun justru menjadi pintu bagi mereka meraih kedudukan yang lebih tinggi. Kekurangan mereka bukan penghalang, tetapi cermin yang memantulkan keteguhan iman.

Dalam hidup, kita sering merasa kurang: kurang sehat, kurang mampu, kurang percaya diri, kurang sempurna di mata manusia. Namun kisah para sahabat ini berkata kepada kita: “Yang penting bukan apa yang hilang dari dirimu, tapi bagaimana engkau menggunakan apa yang masih ada dan dimiliki sekarang untuk berbuat kebaikan.”

Karenanya, kita meyakini, Allah tidak memandang rupa dan fisik kita. Allah melihat hati. Dan hati manusia yang bersabar dalam kekurangan, yang tetap berjuang dalam keterbatasan, lebih indah di sisi-Nya dibanding tubuh paling sempurna sekalipun.

Para sahabat penyandang disabilitas adalah bukti bahwa kadang, justru dari kekuranganlah lahir kekuatan. Karena ketika satu pintu tertutup, Allah membuka pintu lain yang kadang jauh lebih mulia.

Dan untuk setiap manusia yang merasa tidak sempurna, ketahuilah Allah tidak menilai seberapa cepat engkau berlari, tetapi seberapa kuat engkau bertahan untuk tetap menuju ridha-Nya. Wallahul Musta’an.[]

Tegal Binangun, Palembang
03/12/2025

Tinggalkan komentar