Kekalahan, Isyq, dan Kerinduan yang Sejati

Kekalahan selalu menyisakan sunyi yang panjang. Begitu pula saat Timnas kita tersungkur di kualifikasi Piala Dunia. Ada hening di dada, ada rasa sesak di tenggorokan. Kita tahu, perjuangan sudah ditumpahkan, keringat sudah mengalir, sorak sudah bergema di stadion dan ruang-ruang doa. Tapi hasilnya belum seperti yang diharap.

Kita kecewa. Sebab di balik setiap sorak itu, ada isyq (rasa rindu). Ada kerinduan yang membuncah; kerinduan untuk melihat merah-putih berkibar di pentas dunia, kerinduan untuk mendengar “Indonesia Raya” dikumandangkan di tanah asing dengan mata berkaca-kaca, kerinduan agar dunia menoleh dan berkata: “Inilah Indonesia.”

Namun, bukankah kerinduan memang seperti itu? Ia bisa menguatkan, tapi juga bisa melemahkan. Ia bisa membakar semangat, tapi juga bisa menghanguskan harapan.

Seperti halnya isyq antara dua insan, ketika seseorang begitu merindukan seseorang lainnya, hingga setiap detik terasa hampa tanpa kabar darinya. Mata mencari, hati menunggu, dan dunia terasa sunyi tanpa kehadirannya. Itulah sifat dasar isyq; ia mengikat hati pada sesuatu yang dicintai.

Dan di titik ini, kita diajak untuk bertanya, kepada siapa kerinduan itu seharusnya terarah?

Jika kita bisa menumpahkan begitu banyak cinta dan kerinduan pada kemenangan sepak bola. Jika kita bisa menangis karena kekalahan tim kebanggaan. Jika kita bisa rela bergadang hanya untuk menanti hasil laga, maka seandainya semua getaran itu diarahkan kepada Allah, bukankah hidup kita akan lebih bermakna?

Bagaimana jadinya jika kita merindukan surga sebagaimana kita merindukan kemenangan? Bagaimana jadinya jika kita menanti waktu tahajud seperti kita menanti waktu kick-off? Bagaimana jadinya jika hati kita bergetar menyebut nama Allah sebagaimana ia bergetar ketika menyebut nama seseorang yang kita cintai?

Kekalahan Timnas seharusnya tidak hanya menyisankan sedih, tetapi juga cermin, bahwa kita semua adalah manusia yang hidup dalam kerinduan, dan hanya kerinduan kepada Allah yang tidak pernah berujung kecewa.

Sebab, Allah tidak pernah menolak pelukan hamba yang rindu kepada-Nya. Dia tidak pernah mengecewakan doa yang tulus datang di malam sepi. Dia tidak pernah menolak air mata yang jatuh karena cinta.

Maka, biarlah kekalahan ini menjadi guru. Bahwa cinta duniawi dan nasionalisme sejati pun, harus bermuara pada satu cinta yang lebih tinggi, isyqun ilahiyyun, kerinduan kepada Allah.

Dan kelak, ketika hati kita sudah terbiasa rindu kepada-Nya, maka setiap kegagalan di dunia tak lagi menyakitkan, karena kita tahu, ada kemenangan abadi yang sedang menunggu; berjumpa dengan Allah di surga-Nya.

Tegal Binangun, Plaju.

Tinggalkan komentar