Jalan Pulang: Surat Cinta Rasul dari Raudhah

CeKa Vol. 6 – Ada kaligrafi di Raudhah, di antara tiang-tiang putih dan hijau yang penuh cahaya, tertulis dengan indah kalimat Nabi: “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari umatku.”

Kalimat itu terasa seperti bisikan lembut di dada setiap hamba yang merasa tak layak. Mereka yang datang ke Madinah dengan mata sembab, hati remuk, dan langkah tertatih. Mereka yang pernah jatuh dalam dosa, tenggelam dalam gelap, lalu berharap setitik cahaya.

Di Raudhah, antara mimbar dan makam Nabi, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Betapa kasih Nabi begitu luas. Ia tak hanya mengasihi orang saleh, tapi juga mereka yang terperosok, asalkan mau kembali. Rasulullah bukan hanya pembawa risalah, tapi pelipur bagi hati yang hancur. Ia tahu, manusia bisa tergelincir. Ia tahu, jalan hidup kadang berliku. Dan ia berkata, dengan kasih tanpa batas: “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari umatku.”

Ucapan itu bagai tangan yang menuntun keluar dari kegelapan. Bahwa pintu rahmat belum tertutup. Bahwa seburuk apa pun masa lalu, surga masih mungkin diraih, jika hati mau pulang.

Setiap orang punya kisah yang tak semua orang tahu. Ada yang dulu lalai dalam ibadah, lalu kini meneteskan air mata di sepertiga malam. Ada yang pernah menzalimi, kini berjuang memperbaiki. Ada yang pernah kehilangan arah, tapi tak pernah kehilangan harapan. Dan mungkin, di mata Allah, merekalah yang paling dekat dengan ampunan.

Karena Allah bukan hanya Tuhan bagi orang baik, tapi juga tempat pulang bagi mereka yang ingin jadi baik.

Nabi pernah bersabda, “Seandainya kalian tidak berdosa, niscaya Allah akan mendatangkan kaum lain yang berdosa, lalu mereka memohon ampun kepada-Nya, dan Allah pun mengampuni mereka.” (HR. Muslim)

Maka jangan malu untuk menangis. Jangan takut untuk kembali. Taubat bukan tanda kelemahan, tapi keberanian tertinggi seorang hamba karena ia mengakui ketidaksempurnaannya di hadapan Yang Maha Sempurna.

Dulu, ada lelaki bernama Ka‘ab bin Malik yang terjatuh dalam kelalaian. Ia tak ikut perang Tabuk bersama Rasulullah dan akibatnya dijauhi seluruh sahabat. Berbulan-bulan ia hidup dalam kesepian dan penyesalan. Tapi ketika Allah menerima taubatnya, ia menangis dalam sujud panjang. Rasulullah menatapnya dengan senyum penuh cahaya dan berkata: “Bergembiralah, wahai Ka‘ab, karena Allah telah menerima taubatmu.”

Kisah itu hidup hingga kini, menjadi pelajaran bahwa penyesalan yang tulus lebih berharga dari seribu amal tanpa hati.

Maka, bagi setiap jiwa yang pernah terjatuh: jangan biarkan dosa membuatmu jauh, biarkan dosa membuatmu pulang. Karena Allah tak menolak orang yang mengetuk pintu-Nya dengan air mata. Karena Nabi menanti di hari kiamat dengan syafa’atnya yang luas, khusus untuk mereka yang sudah berusaha memperbaiki diri.

Dan ketika seseorang berdiri di Raudhah, menatap kaligrafi itu lagi, ia mengerti bahwa rahmat Allah lebih luas dari dosa siapa pun, bahwa cinta Nabi tak hanya untuk yang sempurna, dan bahwa setiap langkah taubat, sekecil apa pun, sedang disaksikan oleh langit.

Tak ada yang terlambat. Inilah jalan pulang. Selama napas masih berhembus, selama hati masih bergetar mendengar nama Allah, pintu itu belum tertutup. Pintu yang dibuka dengan satu kata lembut: “Astaghfirullah…”

Dan mungkin, saat itu juga, langit tersenyum, dan surga mulai merindukanmu.[]

Madinah
Senin, 27.10.25

Tinggalkan komentar