CeKa Vol. 4 – Ada satu jenis luka yang tak selalu berdarah, tak selalu terdengar, tapi diam-diam bisa memisahkan hati yang semula dekat. Ia tidak datang dari tamparan atau makian, tetapi dari pandangan yang terasa menghakimi, dari kata yang tak sengaja menyakitkan, dari perasaan bahwa kita tak dipahami atau tak dihargai. Luka itu bernama ghil, hal yang mengganjal dalam hati.
Ghil bisa datang pelan-pelan. Tidak selalu muncul saat konflik besar. Ia sering tumbuh justru dalam ruang-ruang kecil kebersamaan; saat rapat yang tak berpihak, saat pujian diberikan pada orang lain, atau saat kita merasa tak dilibatkan dalam keputusan penting. Kita tetap tersenyum, tetap hadir, tetap bekerja, tapi ada ganjalan yang tak sempat kita urai. Lama-lama, kita mulai menjauh dalam hati. Bukan fisik yang pergi, tapi semangat dan keikhlasan yang perlahan menghilang.
Dalam organisasi, ghil adalah racun halus. Ia tidak langsung menghancurkan. Tapi ia membuat kerja tim terasa hambar, membuat ukhuwah menjadi formalitas, membuat kolaborasi berubah jadi persaingan senyap. Dan yang paling menyakitkan; tak ada yang menyadarinya, sampai semuanya terlambat.
Jauh sebelum kita, para sahabat Rasulullah pun hidup dalam dinamika persaudaraan yang nyata. Mereka juga manusia. Mereka pun pernah berbeda pendapat, pernah berselisih. Tapi mereka punya satu keutamaan; hati yang segera kembali bersih.
Pernah suatu kali, Abu Bakar ash-Shiddik berselisih dengan Umar bin Khattab. Abu Bakar merasa marah, lalu menyesal, dan segera datang untuk meminta maaf. Tapi Umar saat itu menolak. Abu Bakar pun pergi dalam keadaan sedih. Tak lama kemudian, Umar menyesal, dan ia pun mendatangi Abu Bakar, tapi sudah terlambat, Abu Bakar telah menemui Rasulullah lebih dulu.
Saat Umar datang ke majelis Nabi, wajah beliau berubah. Beliau menegur Umar dengan kata-kata yang menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati terhadap saudara seiman. Rasulullah mengingatkan para sahabat agar tidak mengganggu Abu Bakar, orang yang paling pertama membela dan mempercayainya ketika yang lain masih meragukannya.
Dari kisah itu, kita belajar bahwa bahkan sahabat yang paling mulia pun bisa mengalami ganjalan hati. Tapi mereka tidak menunda untuk menyelesaikannya. Mereka tidak membiarkannya tumbuh menjadi dinding yang memisahkan. Mereka sadar, ukhuwah bukanlah soal tidak pernah berselisih, tapi bagaimana segera kembali merapat setelah sempat renggang.
Allah bahkan mengajarkan kita doa yang sangat indah dalam Al-Qur’an: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman, dan jangan jadikan dalam hati kami ghil terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hasyr: 10). Ini bukan sekadar doa. Ini adalah petunjuk bahwa menjaga kebersihan hati terhadap sesama mukmin adalah bagian dari iman itu sendiri.
Dalam dunia organisasi hari ini, mungkin kita merasa terlalu sibuk untuk mengurusi urusan hati. Yang penting kerja jalan, target tercapai, program selesai. Tapi organisasi yang diberkahi tidak dibangun hanya oleh strategi. Ia dibangun oleh hati-hati yang saling percaya, saling mendoakan, dan saling memaafkan meski tanpa diminta.
Ketika ada yang mengganjal, jangan biarkan ia menetap. Ucapkan. Sampaikan dengan tenang. Atau kalau belum siap, doakan. Kirimkan kebaikan dalam diam. Tidak mudah memang. Tapi itu latihan hati agar tetap bening. Kita tidak perlu selalu benar, kita hanya perlu selalu jujur; bahwa ada luka yang harus disembuhkan, bukan disembunyikan.
Dan saat hati terasa sempit karena ganjalan itu, ingatlah bahwa tujuan kita dalam organisasi ini bukan semata-mata menyelesaikan proyek, melainkan menyempurnakan adab, mempererat silaturahim, dan meraih keberkahan bersama. Kadang, keberkahan itu tidak datang dari rapi atau suksesnya program, tapi dari hati yang ikhlas memaafkan, dari jiwa yang tak menyimpan ghil terhadap saudaranya.
Maka, sebelum kita membangun tim, bangun dulu hati kita. Sebelum menyusun agenda kerja, bersihkan dulu ruang batin kita dari rasa curiga, iri, atau kecewa. Karena kerja bersama hanya akan ringan jika hati kita saling ringan. Dan kebersamaan hanya akan bermakna jika tidak ada beban yang tersembunyi di antara kita.
Semoga Allah melembutkan hati kita, menenangkan jiwa kita, dan membersihkan dada kita dari segala ghil yang mungkin tumbuh tanpa sadar. Dan semoga kita bisa menjadi pribadi yang lapang dada, yang tidak hanya mampu memaafkan orang lain, tapi juga mampu mengakui bahwa kita pun bisa melukai, dan mau memperbaikinya.
Letnan Murad
21/10/25