CeKa Vol. 8 – Fenomena fatherless hari ini adalah renungan untuk kita. Bukan semata karena ayah yang tidak ada, tapi karena ayah hadir tanpa benar-benar ada. Tubuhnya mungkin di rumah, tapi jiwanya jauh, tertambat pada pekerjaan, tenggelam dalam dunia digital atau lelah oleh rutinitas yang tak memberi ruang untuk menatap wajah anak-anaknya. Anak tumbuh dengan bayangan sosok ayah, bukan dengan kehangatannya. Ia tahu siapa ayahnya, tapi tidak tahu bagaimana rasanya dekat dengannya.
Padahal, bagi seorang anak, ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah tempat belajar arti tanggung jawab, keberanian, dan arah hidup. Dari ayah, anak mengenal makna keteguhan, dan dari tatapannya anak belajar keyakinan. Ketika peran itu pudar, lahirlah generasi yang kehilangan sandaran. Mereka kuat di luar tapi rapuh di dalam, karena pondasi jiwanya tak sempat disentuh kasih seorang ayah.
Namun tidak ada ayah yang sengaja menjauh. Banyak di antara mereka yang sebenarnya ingin dekat, tapi waktu terasa sempit, tenaga habis, dan hari berganti begitu cepat. Padahal kedekatan bukan selalu soal durasi, tapi soal kesadaran untuk hadir sepenuh hati. Dan bila waktu terasa terbatas, Allah masih memberi ruang-ruang kecil yang penuh makna, tiga waktu yang bisa menjadi jembatan antara hati ayah dan anak: saat safar, saat makan, dan menjelang tidur.
Dalam perjalanan, hati manusia cenderung lebih terbuka. Safar menjauhkan kita dari rutinitas dan membawa kita pada ruang yang jujur. Di balik setir atau di kursi sebelah, seorang ayah bisa mengenal kembali anaknya tanpa gangguan. Percakapan ringan di jalan bisa menjadi kisah yang diingat seumur hidup. Rasulullah Saw. pun mencontohkan kedekatan itu. Dalam perjalanan, beliau melibatkan para sahabat muda, memberi mereka tanggung jawab, bercerita, dan menanamkan nilai tanpa harus menggurui. Begitulah seharusnya safar bagi ayah dan anak, bukan sekadar berpindah tempat, tapi berpindah jarak hati menuju lebih dekat.
Lalu ada waktu makan bersama, yang sering kita remehkan. Padahal di atas meja sederhana, cinta bisa ditanam dan kasih bisa disampaikan tanpa banyak kata. Ketika ayah duduk bersama anak-anaknya, mendengarkan celoteh mereka, memuji hal kecil yang mereka lakukan, atau sekadar tersenyum. Itulah bentuk kasih sayang yang paling nyata. Makan bersama bukan hanya tentang nasi dan lauk, tapi tentang rasa memiliki, tentang momen di mana anak tahu: ayah punya waktu untukku. Rasulullah Saw. pun duduk bersama keluarganya, menyuapi, menegur lembut, memberi teladan adab dan kesederhanaan. Begitulah, ternyata kehangatan keluarga sering tidak butuh acara besar, hanya butuh hati yang mau hadir di satu meja.
Dan yang terakhir, menjelang tidur, saat dunia mulai tenang dan pikiran melunak. Itulah waktu paling lembut untuk seorang ayah menyentuh hati anaknya. Di tepi ranjang, dengan suara rendah dan tatapan penuh kasih, ayah bisa berdoa bersama anaknya, mendengarkan ceritanya, atau hanya berkata, “Ayah bangga padamu.” Kalimat sederhana itu bisa menjadi cahaya yang akan menuntun langkah anak hingga dewasa. Rasulullah Saw. mengajarkan doa dan dzikir sebelum tidur, menanamkan tauhid dan ketenangan dalam hati anak-anaknya. Begitu pula ayah masa kini, yang mungkin tak selalu punya waktu panjang, tapi bisa menyisihkan sejenak malam untuk menumbuhkan kehangatan yang abadi.
Menjadi ayah bukan tentang berapa lama kita di rumah, tapi seberapa dalam kita hadir ketika di sana. Anak-anak tidak menuntut kesempurnaan, mereka hanya ingin merasa dicintai. Karena kelak, yang mereka ingat bukanlah gaji besar atau hadiah mahal, tapi suara ayah yang menenangkan di perjalanan, tawa di meja makan, dan doa lembut sebelum terlelap.
Dan di situlah sejatinya seorang ayah hidup. Bukan hanya di rumah, tapi di dalam hati anak-anaknya.
15 Ulu, Jakabaring.
