Assalamualaika Ayyuhan Nabiyyu

CeKa Vol. 5 – Dalam setiap shalat, ada satu kalimat yang senantiasa terucap dengan lembut di penghujung doa: “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh.”

Kalimat yang mungkin terasa biasa di telinga, namun sesungguhnya adalah sapaan langsung kepada manusia paling mulia. Sebuah salam yang mengalir dari hati setiap mukmin, melintasi waktu, menembus jarak, menuju kepada Nabi Muhammad, sang rahmat bagi seluruh alam.

Setiap kali kalimat itu dilafazkan, sesungguhnya seorang hamba sedang berbicara kepada kekasih Allah yang paling agung. Bukan sekadar mengingat, tetapi menyapa dengan penuh takzim dan cinta.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku hingga aku menjawab salamnya.” (HR. Abu Dawud)

Maka setiap salam yang terucap dalam tahiyyat bukanlah kata yang hilang di udara. Ia sampai. Ia disambut. Dan ia dijawab oleh Rasul yang hatinya penuh kasih terhadap umatnya.

Betapa indah ketika hati hadir bersama lisan saat mengucapkannya. Bayangkan, di keheningan tahiyyat itu, lidah mengirimkan salam kepada beliau, sementara hati bergetar menahan rindu. Seolah sedang duduk di hadapan Nabi yang wajahnya bercahaya, dan dari jiwa yang penuh harap terucap lirih: “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu…” “Semoga keselamatan tercurah atasmu, wahai Nabi.”

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Aku rindu bertemu dengan saudara-saudaraku.” Para sahabat pun bertanya, “Bukankah kami ini saudaramu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah mereka yang beriman kepadaku tanpa pernah melihatku.” (HR. Ahmad)

Ucapan itu membuat kalimat salam dalam tahiyyat terasa semakin dalam. Setiap mukmin yang belum pernah menatap wajah beliau ternyata telah disebut “saudara”. Dan setiap salam yang terucap menjadi jembatan rindu di antara dua dunia: dunia hamba yang jauh, dan dunia Rasul yang menanti dengan kasih.

Kalimat “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu…” bukan sekadar bagian dari tata cara shalat. Ia adalah ungkap cinta yang diabadikan Allah dalam ibadah paling suci. Setiap kali lidah mengucapkannya, ruh seakan mengingat jalan pulang, jalan menuju kasih Rasul yang akan menanti di telaga Al-Kautsar.

Betapa halus rahmat Allah, hingga dalam setiap shalat pun umat ini diberi kesempatan untuk berbicara kepada Nabinya, mengucapkan salam dan menerima balasan salam dari beliau yang tak pernah lupa kepada umatnya.

Maka biarlah setiap tahiyyat menjadi pertemuan batin, bukan sekadar bacaan hafalan. Biarlah salam itu keluar dari hati yang rindu, dari jiwa yang ingin berjumpa, dari cinta yang ingin disambut di hari kebangkitan nanti.

“Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh…”

Salam dari umat yang belum pernah menatap wajahmu, namun menantikan perjumpaan denganmu, di saat engkau berkata di telaga Kautsar: “Marhaban bi ummati, selamat datang wahai umatku.”[]

Bandara SMB II Palembang
Jumat, 24/10/25

Tinggalkan komentar