CeKa Vol. 7 – Dengki adalah api yang diam-diam menyala di dada. Ia tak berasap, tapi panasnya bisa membakar seluruh amal. Ia tak bersuara, namun getarannya mampu meruntuhkan bangunan ukhuwah yang kokoh sekalipun. Dalam pandangan syariat, dengki bukan sekadar penyakit hati, ia adalah dosa besar yang menjadi asal mula kejatuhan dua makhluk mulia, iblis di langit dan Qabil di bumi.
Dosa pertama di langit adalah hasad iblis kepada Adam. Saat Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud sebagai bentuk penghormatan, semua patuh kecuali iblis. Ia merasa lebih mulia. Ia tak rela ada makhluk lain yang mendapat kemuliaan yang tidak diberikan kepadanya. Maka ia berkata dengan sombong: “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia dari tanah.” (QS. Al-A‘raf: 12). Sejak saat itu, dengki menumbuhkan kesombongan, kesombongan menumbuhkan pembangkangan, dan pembangkangan menumbuhkan laknat yang abadi.
Sedang dosa pertama di bumi adalah dengki Qabil kepada saudaranya, Habil. Qabil tak mampu menahan amarahnya ketika persembahan saudaranya diterima Allah sementara miliknya ditolak. Ia ingin derajat yang sama, tapi bukan dengan memperbaiki amal, melainkan dengan menjatuhkan saudaranya. Maka terjadilah pembunuhan pertama di bumi. Allah mengabadikan peristiwa itu dalam Al-Qur’an agar manusia tahu, betapa dahsyat kehancuran yang ditimbulkan oleh iri dan dengki.
Dengki selalu bermula dari pandangan yang salah: bahwa nikmat orang lain adalah ancaman bagi dirinya. Padahal nikmat itu milik Allah, yang diberikan sesuai hikmah dan kasih-Nya. Dengki menolak takdir dengan cara halus. Tidak berani mencela Allah, tapi mencela apa yang Allah takdirkan.
Para salafus shalih sangat takut terhadap penyakit ini. Seorang tabi’in berkata, “Aku belum pernah melihat orang zalim yang lebih mirip orang dizalimi selain pendengki; hatinya terbakar, sementara orang yang ia dengki tenang menikmati nikmatnya.” Hasan al-Bashri pernah ditanya, “Apakah orang beriman bisa hasad?” Ia menjawab, “Bagaimana tidak? Namun ia menahan diri, tidak menzhalimi.” Artinya, rasa tidak suka mungkin muncul sesaat, tapi seorang mukmin tidak menuruti bara itu. Ia segera memadamkannya dengan doa dan istighfar.
Dalam organisasi dakwah, dengki adalah racun paling halus tapi paling mematikan. Ia bisa menyusup di balik senyum, menyamar di balik semangat kerja. Ketika seseorang mulai merasa terganggu melihat temannya lebih dipercaya, lebih populer, atau lebih cepat naik tangga kepemimpinan, saat itulah bibit dengki mulai tumbuh. Ia merusak niat yang semula lillah menjadi li ghairillah. Yang semula bekerja untuk Allah, berubah menjadi bekerja untuk pengakuan.
Dengki membuat kerja kolektif menjadi retak. Ia menjadikan musyawarah penuh kecurigaan, membuat hati sulit ikhlas menerima keputusan jamaah. Satu orang yang hatinya dipenuhi iri bisa melemahkan semangat satu tim. Padahal dalam dakwah, kemenangan bukan ditentukan oleh kecerdasan, tapi oleh kebersihan niat dan kesatuan hati.
Para salaf mengajarkan obatnya: doakan orang yang engkau dengki. Jika hatimu panas melihat saudaranya bahagia, segera katakan dalam doa, “Ya Allah, berkahilah ia dan tambahkan lagi nikmat-Mu kepadanya.” Awalnya mungkin terasa berat, tapi lambat laun bara iri akan padam, berganti sejuknya ridha dan cinta.
Rasulullah Saw. bersabda, “Jauhilah hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud). Betapa banyak amal yang hilang karena hati yang tidak ridha. Betapa banyak ukhuwah yang hancur karena merasa tak rela melihat saudaranya lebih maju.
Dengki adalah api yang membakar dari dalam, sementara cinta dan ridha adalah air yang menyejukkan. Maka barang siapa ingin hatinya lapang dan amalnya diterima, padamkanlah api itu sebelum membesar. Biarlah hati menjadi taman yang subur bagi doa dan syukur, bukan ladang kering tempat tumbuhnya bara iri. Karena tak ada bahagia yang sejati dalam dengki, yang ada hanyalah kehancuran diri.
Makkah Al-Mukarramah
Sabtu, 01/11/2025
